DEDIKASI
Nama Basarnas tiba-tiba saja mencuat ke permukaan dan kembali menjadi populer karena prestasi dalam menangani bencana yang terjadi. Tantangan cuaca buruk yang membahayakan nyawa pun disambut dengan penuh semangat. Apa yang kita saksikan di media tentunya adalah situasi-situasi berani dari para penerbang, penyelam, pelaut, dan penyelamat lainnya.
KITA tentunya berdecak kagum melihat keberanian, bahkan kenekatan para penyelam, penerbang untuk melakukan tindakan penyelamatan. Selanjutnya, pernahkah kita juga bertanya-tanya, apa yang dialami di balik kinerja yang luar biasa ini. Bencana tak kenal waktu, tak jarang para anggota Basarnas tidak pulang ke rumah untuk jangka waktu yang cukup lama. Apakah kita pernah mempertanyakan rindu istri dan anak yang ditinggalkan di rumah selama berminggu-minggu. Bagaimana keluarga yang ditinggalkan para prajurit yang berjuang menghadapi rasa waswas dan khawatir akan menerima berita buruk? Apakah kita mempertanyakan bagaimana kesejahteraan dan kesehatan para prajurit yang tidur seadanya dan harus terus bersiap siaga 24 jam.
Tanpa disadari, kita dikelilingi oleh para pelayan masyarakat yang memang sudah menghayati profesinya serta sering mengorbankan kebersamaan dengan keluarga dan kepentingan pribadinya. Ini bukan terrjadi pada profesi-profesi yang melayani public saja. Bahkan pekerjaan yang dilakukan individu, dengan penuh fokus dan integritas, penuh pengorbanan dan dedikasi, sampai-sampai terkadang melupakan kepentingan dan keselamatan pribadi. Mengapa? Demi apa?
Pilihan Nilai
Di saat keadaan ekonomi semakin menantang, kemacetan lalu lintas, tekanan target lembaga dan perusahaan yang semakin ketat, kita sering membutuhkan tenaga ekstra untuk menjaga semangat. Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa tuntutan profesi sering berebut waktu dan perhatian dengan tuntutan kehidupan lain, seperti berkembangannya kehidupan speritual, keluarga, kesehatan, dan sosial. “Bagaimana silaurahim dijalankan, kalau hidup kita hanya habis mondar-mandir antara rumah dan kantor”, demikian keluh kesah teman di kantor.
Jelas, saat sekarang, waktu pun sudah menjadi komoditas yang material, bisa menjadi keuntungan, tetapi juga menjadi penghambat. Demikian pula uang dan hal-hal materiil lainnya. Kita selalu butuh uang dan seolah tidak bisa mengendalikan kebutuhan dan pemenuhannya yang tidak berhenti berkembang. Kita mudah terjebak dalam situasi pesimistis dan merasa tidak beruntung terus-menerus kalau tidak berbenah mindset. Tidak sedikit di antara kita yang menganalogikan worklife balance dengan prioritas pada kehidupan keluarga yang seperti bola kristal, perlu dijaga, dan dipelihara, sementara pekerjaan dan kegiatan lainnya adalah hal yang menghambat, membebani, patut dipertanyakan dan kalau perlu dinomorduakan. Kondisi seperti ini membuat individu terjerumus dalam sikap negativistik.
Pada dasarnya, profesi dan pekerjaan bisa menangkat harkat hidup seseorang, bukan menyiksa ataupun membebani. Bukankah anak dalam keluarga bisa bangga dengan pekerjaan orang tuanya yang sederhana, tetapi keras, dan membuatnya mungkin bersekolah? Apakah suasana profesional yang terjadi di pekerjaan orangtua, tidak memiliki pengaruh positif pada etos kehidupan keluarga? Apakah hal ini tidak penting dalam hidup? Apakah worklife balance berarti membuat nomor urut terhadap hal-hal penting dalam hidup kita? Lalu mengapa para istri Basarnas itu tetap bersedia untuk menikah dengan anggota Basarnas meskipun dari semenjak belum menikah para calon istri sudah mendapakan penjelasan mengenai resiko pekerjaan suaminya.
Kita lihat, walaupun terjepit keterbatasan uang, waktu, dan tugas, kita bisa tetap mempunyai alasan untuk memilih kehidupan dan nilai tertentu. Kita melihat betapa kesetiaan para prajurit tidak hanya kepada negara, tetapi juga korps, atasan serta bawahan, bisa mewarnai hidupnya dan bisa mengalahkan banyak sekali kebutuhan bahkan yang primer sekalipun. Dedikasi itu sendiri sebenarnya lebih dari sekedar menghabiskan waktu yang lebih banyak, usaha yang lebih besar dari seseorang di dalam pekerjaannya. Dedikasi diawali oleh rasa cinta, cinta kepada kebenaran, cinta kepada ilmu pengetahuan, cinta kepada negara dan cinta kepada sesama manusia. Rasa cinta inilah yang ditularkan oleh mereka kepada keluarganya yang seolah-olah “dikorbankan”. Kekuatan cinta inilah yang sering kali menguatkan mereka di kala keluarga menghadapi cobaan dikarenakan risiko pekerjaan salah satu anggota keluarganya.
Putra Ahok berkomentar, ‘Kita figth sampai mati saja Pa”, ketika keluarganya mendapatkan ancaman bahwa rumahnya akan diserbu oleh preman waduk Pluit. Dukungan dari keluarga dalam saat-saat seperti ini tentunya sangat penting dan menjadi sumber kekuatan. Mereka percaya bahwa segala pengorbanan yang mereka berikan saat ini, baik waktu, tenaga, maupun uang yang sering kali mengambil jatah yang seharusnya mereka berikan pada keluarga mereka, pada akhirnya adalah demi kepentingan nilai nilai luhur yang diwariskan kepada anggota keluarga mereka juga. Seorang menagatakan, “Saya tidak mewariskan uang ke anak cucu saya. Cukup nama, nilai, dan etos kehidupan”.
Pengayaan Pribadi
Berkaca pada kehidupan orang-orang ‘besar” di sekitar kita, kita bisa melihat bahwa kehidupan ini banyak diperkaya oleh kekuatan prinsip. Bahkan, dalam keadan yang sulit, suami terborgol sekalipun, istri Bambang widjojanto bisa mengatakan bahwa anaknya menganggap penagkapan suaminya “keren”. Kita memang bisa saja terjepit oleh kebutuhan material dan tidak bisa berkelit dari kebutuhan-kebutuhan yan urgen. Namun, kita baiknya juga ingat bahwa di samping pemenuhan kebutuhan primer, seperti uang sekolah, makan sehari-hari, masih ada kebutuhan untuk mengisi diri dengan nilai-nilai luhur, nilai-nilai profesional, pengabdian, kebenaran, yang akan menjadi asupan rohani dan mental, serta bernilai sama pentingnya dengan asupan gizi dan pengetahuan kita.
Di tengah-tengah berkembangnya ketersediaan informasi dan lubernya pengetahuan serta padatnya kehidupan, kita perlu menimbang manusia macam apakah yang akan dikembangkan, baik dalam diri kita maupun keturunan dan bawahan kita. Hubungan kita dengan perusahaan atau lembaga tempat kita berkarya pun perlu ditelaah kembali. Apakah hubungan kerja membri kekayaan profesional, wawasan dan produkivitas, serta apakah kita sempat memberikan kontribusi ke dalamnya . Begitu konribusi kita kurang, yang bisa dikarenakan kita terlalu hitung-hitungan ataupun karena tidak tahu bagaimana kita harus berkontribusi, kita pun akan merasakan bahwa kita menjadi outgroup dan kemudian tidak happy lagi karena merasa dilupakan oleh organisasi.
Sumber :
(KOMPAS, SABTU 31 JANUARI 2015)